Sebuah pertanyaan menggelitik pernah
diajukan kepada saya oleh seorang pemuda dengan jujur dan terbuka: “Mengapa
Pura harus dijaga kesuciannya, dan apa pula kriteria kesucian itu” dilanjutkan
dengan pertanyaan yang lehih sulit dijawab: “Bukankah Sanghyang Widhi ada di
mana-mana, walaupun di tempat kotor dan nista sekalipun?”
Pertanyaan anak muda ini tentu tak
bisa diabaikan hanya dengan menjawab singkat “Ya, memang harus begitu!”
Saya menjawab dengan mulai
menembangkan Kekawin Arjuna Wiwaha X.1/98 Mrdhu Komala gubahan Mpu Kanwa:
ONG
SEMBAHNING ANATHA TINGHALANA, DE TRI LOKA SARANA. WAHYA DHYATMIKA
SEMBAHINGULUNI JONG TA, TAN HANA WANEH. SANG LWIR AGNI SAKENG TAHEN, KADI
MINYAK SAKENG DADI KITA. SANG SAKSAT METU, YAN HANA WWANG AMUTER TUTUR PINIHAYU
Terjemahannya: Sanghyang Widhi yang
maha suci, lihatlah bhakti hamba yang nista ini, karena Engkau yang menguasai
tiga alam (bhur-bhuwah-swah). Nyata dan tidak nyata bhakti hamba kepada-Mu,
tiada tandingannya. Engkau laksana api yang keluar dari kayu, bagaikan minyak
yang keluar dari santan. Engkau datang kepada mereka yang sadar akan
kehadiran-Mu untuk membawa kebahagiaan.
Perhatikan baris kedua: “wahya
dhyatmika sembahingulun” yang mengisyaratkan bahwa sebelum bersembahyang kita
telah memenuhi dua syarat utama, yaitu:
1. Wahya, artinya gerak atau sikap
nyata meliputi cara berjalan, sikap duduk, sikap tangan, nafas teratur, dan
alat-alat pemujaan yang bersih dan baik.
Kriterianya meliputi antara lain:
tubuh yang bersih/ sudah mandi, pakaian yang bersih dan sopan, banten atau
canang yang sesuai sebagai persembahan.
Di samping itu suasana diciptakan
secara kondusif untuk mendukung konsentrasi bersembahyang. Rangsangan berupa
dupa, dipa, kidung, dentingan gentha, alunan puja-mantra, dan gambelan yang
sesuai menebarkan vibrasi kesucian dan sangat baik untuk mengupayakan jalinan
atman pada Brahman.
2. Dhyatmika, artinya kondisi batin
yang baik dan siap untuk bersembahyang, yaitu: tenang, damai, pengabdian yang
tulus, dan konsentrasi penuh dalam memuja Sanghyang Widhi.
Oleh karena itu PHDI dalam Keputusan
Seminar ke-IV tentang Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu tanggal
17 s/d 20 April 1978 mengatur Tata-Cara masuk Pura, sebagai berikut:
Dilarang masuk Pura bagi orang-orang
yang:
- Dalam
keadaan datang bulan (wanita), baru melahirkan atau aborsi yang belum
selesai masa cuntaka/ sebel – nya.
- Berhalangan
kematian atau cuntaka karena sebab lain
- Tidak
mentaati ketentuan masuk Pura
- Menderita
cacat fisik yang permanen.
- Berpakaian
tidak sopan atau menonjolkan bentuk tubuh/ aurat.
- Bercumbu,
berkelahi, bertengkar, berkata kasar/ memaki, bergosip, menyusui bayi,
meludah, buang air, mencorat-coret pelinggih-pelinggih, dan lain-lain.
- Yang
tidak mempunyai kepentingan bersembahyang atau yang berkaitan dengan
acara/ upacara di Pura.
Kitab suci Atharvaveda X11.1.38
menyatakan:
YASYAM
SADOHA VIRDHANE YUPO YASYAAM NIMIYATE, BRAHMANO YASYAMARCANTYURGBHIH SAMNA
YAJURVIDAH, YUJYANTE YASYAMRTVIJAH SOMAM INDRAYA PATAVE
Artinya: di tempat-tempat suci, di
mana didirikan Pura tempat para brahmana yang menguasai yayurveda memuja Tuhan
dengan Rgveda dan merapalkan Samaveda, di sanalah Tuhan rnelimpahkan
kebahagiaan dan keselamatan bagi umat manusia.
PHDI dalam Keputusan Nomor:
11/Kep/I/PHDIP/1994 tanggal 25 Januari 1994 mengeluarkan Bhisama tentang
kesucian Pura, di mana ditetapkan bahwa kawasan suci meliputi: gunung, danau,
campuhan (pertemuan sungai-sungai), pantai, laut.
Selain itu kawasan suci meliputi
pula lingkungan lokasi Pura yang ditetapkan dengan jarak dalam istilah:
apenimpug, apeneleng, apengambuhan, dan apenyengker.
Apenimpug adalah jarak yang
diperoleh dengan melemparkan batu sebesar genggaman tangan orang dewasa
(sekitar 50 meter). Apeneleng adalah jarak batas kemampuan mata memandang.
Apengambuhan adalah jarak terciumnya bau yang tidak sedap akibat berbagai
aktivitas manusia. Apenyengker adalah batas tembok Pura.
Maksudnya lingkungan Pura dalam
jarak tertentu agar dijaga tidak tercemar, yang bisa mengganggu konsentrasi
umat yang bersembahyang di Pura, baik dalam bentuk pandangan, penciuman,
bunyi-bunyian, yang tidak ada hubungannya dengan upacara persembahyangan.
Dalam Lontar Bomantaka dan Lontar
Sanghyang Aji Swamandala, diatur tentang tata-letak Pura, di mana area Pura
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu utama mandala, madya mandala, dan nista
mandala.
Utama mandala adalah bagian yang
paling sakral karena di sinilah letak bangunan-bangunan utama seperti
Padmasana, Meru, Pangrurah, Gedong, dan lain-lain.
Madya mandala adalah tempat
menyiapkan sesajen dan menenangkan pikiran sebelum masuk ke utama mandala.
Nista mandala adalah halaman bebas, dapur umum, kamar mandi/ wc, tempat parkir
kendaraan, tempat istirahat, dan lain-lain.
Dari nista mandala ke madya mandala
dibatasi dengan gerbang yang bernama candi bentar yang bermakna sebagai
mengingatkan umat tujuan datang ke Pura yaitu menyembah Sanghyang Widhi dalam
wujud-Nya sebagai ardhanareswari, yaitu dua yang selalu berbeda, sesuai simbol
candi bentar yang di kiri-kanan mengapit jalan masuk.
Dari madya mandala ke utama mandala
dibatasi dengan gerbang yang disebut paduraksa yang bermakna membulatkan
keyakinan untuk bersembahyang. Pintu paduraksa kecil, maksudnya agar pengunjung
tidak berdesakan, melainkan masuk satu-persatu dengan tertib.
Di atas pintu paduraksa ada Bhoma
sebagai simbol pensucian atau panglukatan, sehingga bila masuk ke Pura melewati
paduraksa, otomatis telah disucikan oleh Sanghyang Bhoma.
Bila masalah kesucian Pura seperti
di atas tidak diperhatikan, maka konsentrasi umat bersembahyang terganggu.
Bahkan sudah diingatkan dalam Atharvaveda XII.1.38 di atas, bahwa Sanghyang
Widhi tidak berkenan menganugrahkan wara nugraha kepada para bhakta.
Kesucian Pura tidak hanya perlu
dijaga pada saat upacara-upacara saja, tetapi setiap hari para Jero Mangku yang
bersangkutan perlu memperhatikannya dengan seksama. Jika terjadi sesuatu yang
melanggar kesucian atau trihitakarana (tiga hal yang menyebabkan kebaikan)
perlu segera diadakan pecaruan.
Pelanggaran trihitakarana itu dapat
berupa hilangnya keseimbangan dan keharmonisan, baik di bidang parhyangan,
pawongan, maupun palemahan.
Parhyangan adalah hubungan yang
harmonis dan keseimbangan bhakti antara manusia dengan Sanghyang Widhi.
Pawongan adalah hubungan yang harmonis dan seimbang antara sesama manusia atau
sesama warga penyungsung Pura. Palemahan adalah hubungan yang harmonis dan
seimbang antara manusia dengan alam.
Misalnya bila ada pertengkaran,
kekerasan atau perkelahian di Pura, maka unsur pawongan dari trihitakarana
telah ternoda. Jika terjadi bencana alam maka yang ternoda adalah unsur
palemahan. Mungkin karena sesuatu hal Pura lama tidak diupacarai atau digunakan
untuk sembahyang, maka yang terganggu dalam hal ini adalah unsur parhyangan.
Untuk memulihkan kembali kesucian
Pura, diadakan pecaruan, karena ‘Caru’ dalam tradisi beragama Hindu di Bali
adalah upacara korban untuk mewujudkan trihitakarana, yang pada gilirannya
menuju pada kesucian.
Pada
tempat suci biasanya umat hindu melaksanakan kontak atau komunikasi dalam
rangka memohon keselamatan dan kesucian. Dalam fungsinya seperti tempat suci
sebagai sthana Sang Hyang Widhi Wasa, hendaknya terjaga kesucian dan
kesakralannya. Dengan terjaganya kesucian tempat suci itu berarti terlepasnya
unsur-unsur cemer (mencemari) keadaan
tempat suci tersebut dan akhirnya kesakraannya semakin tumbuh dan berkembang.
Kesakralan tempat suci bagi umat hindu dapat memberikan dorongan spirit untuk
lebih cepat dan mantap untuk mengadakan kontak dengan sang hyang widhi wasa
beserta manisfestasinya dan roh suci leluhur yang bersthana pada tempat suci
tersebut. Tempat suci yang bersih dan lestari dapat menambah kekhusyukan
bersembahyang. Tempat suci yang lestari akan tidak mudah rusak dan dapat
digunakan hingga bertahun tahun lamanya.